iklan klik

Rabu, 26 Januari 2011

HYPERBILIRUBINEMIA

LAPORAN PENDAHULUAN

HYPERBILIRUBINEMIA

A. Pengertian

Hyperbilirubinemia adalah peningkatan serum bilirubin dalam darah yang ditandai dengan icterus pada kulit, sclera, mukosa dan cairan tubuh (Cindy Smith, 1990).
B. Macam-macam Icterus
Icterus Fisiologis adalah icterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketigaserta tidak mempunyai dasar patologik dan tidak mempunyai dasar potensi untukmenjadi kernicterus.

Icterus disebb\ut fisiologik bila :
a.Timbul pada hari kedua dan ketiga
b.Kadar bilirubin indirect tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulandan 12,5 mg% untuk neonatus kurang bulan.
c.Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% per hari.
d.Kadar bilirubin direct tidak melebihi 5 mg% per hari.
e.Kadar bilirubin direct tidak melebihi 1 mg%.
f.Icterus menghilang pada 10 hari pertama.
Icterus Patologik :
Icterus disebut patologik bila :
a.Terjadi dalam 24 jam hari pertama.
b.Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
c.Icterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
d.Kadar bilirubin direct lebih dari 1 mg%.
e.Punya hubungan dengan proses hemolitik.
Breast feeding Assosiated Joundice
Breast Milk Joundice (Wong;1995).
C. Etilogi Hyperbilirubinemia
Produksi bilirubin yang berlebihan, misal : hemolisis yang meningkat padainkompatibilitas darah RH, ABO, golongan darah lain.
Gangguan fungsi hepar, misalnya imaturitas hepar pada bayi prematur, terjadinyainfeksi hepar, tidak terjadinya enzim glukoronil transfferase (sindrom Cringgler-Majjar).
Gangguan transportasi misalnya hipoalbuminemia pada bayi premature.
Gangguan ekskresi bilirubin atau obstruksi.
E.Asuhan Keperawatan
1.Pengkajian Meliputi :
a.Biodata : untuk mengetahui identitas bayi dan orangtua, sehingga dapat mempermudah dalam memberikan informasi. Tanggal lahir bayi perlu dikaji untuk menentukan bayi lahir aterm atau premature sehingga memperkuat diagnosa icterus fisiologis atau patologis.
b.Riwayat kehamilan dan persalinan, meliputi
Riwayat prenatal :
1.)Usia kehamilan , dapat diketahui usia bayi termasuk aterm atau premature.Pada bayi lahir kurang dari 37 minggu (premature) lebih sering terjadi hiperbilirubin karena kadar albumin dalam darah yang rendah (IKA, FKUI,1985).
2.)Penggunaan obat selama hamil , terutama obat seperti salisilat, sulfafurazole, maka beresiko besar terjadi gangguan transportasi bilirubin.
3.)Penyakit yang pernah diderita selama hamil , terutama yang berkaitan dengan gangguan fungsi hepar .
4.)Kebiasaan ibu selama hamil, nutrisi ibu yang kurang dapat menyebabkan partus prematurus dan nutrisi lebih mengakibatkan preeklamsi.Kebiasaan merokok, mengkonsumsi bahan narkotik, minum alkohol dapat menyebabkan premature (Kapita Selekta ,1994)
Riwayat natal :
Cara pertolongan pertama dalam penjepitan tali pusat yang terlambat sehingga darah itu banyak mengalir ke janin lewatpusat dan akan mengakibatkan terjadinya policitemia yang akan meningkatkan produksi bilirubin (IKA I, FKUI, 1990).
Riwayat post natal :
Dehidrasi pada bayi akan meningkatkan kadar bilirubin serum yang mungkin disebabkan bayi dengan reflek hisap yang menurun .Perawatan byi dengan penggunaan obat – obatan seperti oksitosin, bahan pembersih fenol dapat pula mengakibatkan hiperbilirubinemia (FKUI, 1990).
c.Riwayat kesehatan keluarga
Yang perlu dikaji adalah dimana ada faktor-faktor yang meurun atau pembawaan orang tua misalnya, penyakit diabetes melitus pada saat kelahiran menyebabkan hiperglikemi pada bayi, sehingga meningkatnya viskositas darah menghambat konjugasi indirect dalam hepar.
d.Riwayat psikososial
Terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi menyebabkan orang tua mengalami perubahan psikologis berupa kecemasan, sedih, kurang pengetahuan tentang perawatan, pengobatan serta komplikasi yang akan timbul (Cindy Smith,1988).
e.Pemeriksaan fisik.
e.Keadaan yang dapat kita temukan pada bayi hiperbilirubinemia, yaitu
1.)Keadaan umum : tubuh tampak kuning , bayi tampak lemah , reflek menghisap dan menelan lemah, sensitif terhadap rangsangan dan tangisan merengek.Suhu tubuh tidak stabil , frekwensi pernapasan menurun, nadi relatif cepat dan tekanan darah menurun.
2.)Kepala dan rambut: rambut kemerahan dan penyebaran masih jarang menandakan kelahiran premature.Hematom menunjukkan trauma persalinan.Pada mata ditemukan sklera tampak icterus, mata cowong, mukosa bibir kering, ubun-ubun cekung, releks menghisap lemah dan lehe kaku (Doenges,1994).
3.)Abdomen: peristaltik meningkat, tali pusat harus dirawat dengan baik untuk mencegah infeksi.
4.)Genetalia: ditemukan warna kemerahan pada kulit daerah anus karena iritasi dari bilirubin dan enzim-enzim yang dikeluarkan feces.
5.)Neurologi: reflek moro menurun, tidak ada kejang pada tahap kritis.
6.)Muskuloskeletal: ada tanda kern ikterus seperti spasme, kejang-kejang, kedutan pada wajah dan ekstremitas, tangan mengepal,extensi dan endotorasi (IKA, 1990).
7.)Integumen: warna kuning seluruh tubuh , lanugo pada wajah, telinga, pelipis, dahi, punggung adalah indikasi bayi premature, kehangatan kulit kurang , jaringan subkutan tipis dan keriput.
f.Pemeriksaan penunjang
1.)Pemeriksaan bilirubin (direct dan indirect)
2.)Pemeriksaan darah lengkap; Hb<, Ht > pada policitemia, anemia berlebihan.
3.)Pemeriksaan golongan darah bayi dan ibu untuk mengidentifikasi inkompabilitas ABO (Doenges,1994)
4.)Protein serum total, kadar (< 0,3 g/dt) menandakan penurunan kapasitas ikatan terutama pada bayi praterm. 5.)Pemeriksaan retikulosit: peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi SDM dalam respon terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh. g.Penatalaksanaan. g.Prinsip penatalaksanaan bayi hiperbilirubinemia (IKA, FKUI, 1985) adalah : 1.)Mempercepat proses konjugasi dengan pemberian fenobarbital. 2.)Memberi substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi dengan memberi albumin dan plasma. 3.)Fototerapi untuk mengubah bilirubin indirect menjadi bilirubin direct merupakan senyawa yang larut dalam air sehingga mudah diekskresi. 3.)Transfusi tukar untuk membuang bilirubin dalam darah dan mengganti dengan darah baru. Diagnosa Keperawatan a.Resiko tinggi injury (ssp: kern ikterus) berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin. b.Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan , fototerapi, diarhoe. c.Perubahan suhu tubuh berhubungan dengan premature, fototerapi. d.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan joundice dan diarhoe. e.Resiko injury pada mata dan genetalia berhubungan dengan fototerapi. f.Perubahan psiklogis (cemas) berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keluarga tentang joundice, penatalaksanaan dan perawatan. g.Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipo/hiperventilasi selama transfusi tukar. Rencana Asuhan Keperawatan. a.Dignosa : Resti injury(kern ikterus) b/d peningkatan serum bilirubin. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan serum bilirubin indirect kembali normal. Kriteria Standar : Kadar bilirubin dibawah 12 mg% pada bayi aterm dan kurang 15 mg% pada bayi premature, reflek bayi baik, sklera tidak icterus, tidak terjadi kejang, kedutan tidak ada. Intervensi : ü Identifikasi faktor predisposisi terjadinya hiperbilirubinemia. R : kondisi klinis tertentu dapat menyebabkan pembalikan barier darah otak sehingga meningkatkan resiko terhadap keterlibatan ssp. ü Observasi warna kulit dan sklera mata klien , catat bila ada peningkatan ikterus. R : mendeteksi dini terjadinya kern ikterus ü Observasi warna dari feces dan urine. R : warna yang berubah menadakan peningkatan bilirubin. ü Pertahankan bayi tetap hangat dan kering R : stressor dingin berpotensi melepaskan asam lemak yang bersaing pada sisi ikatan pada albumin, sehingga meningkatkan kadar bilirubinyang bersirkulasi dengan bebas. ü Observasi perubahan perilaku (letargi, hipotonia, hipertonisitas, bayi tidak mau minum , respiratori distres,dll) R : deteksi dini adanya kern ikterus sehingga diperlukan intervensi. ü Kolaborasi foto terapi dan transfusi tukar jika ada indikasi R : fototerapi untuk merubah bentuk senyawa yang larut dalam lemak ke senyawa yang larut dalam air sehingga mudah dieksresi, sedangkan transfusi tukar untuk membuang biliburin dalam darah dan mengganti dengan yang baru b. Diagnosa : Kurang volume cairan tubuh b/d tidak adekuatnya intake cairan , fototerapi, diarhoe. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan tindakan keperawatan klien mendapatkan hidrasi yang adekuat Kriteria Standar : Trugor kulit kembali kurang dari 1 detik, mukosa bibir cekung, bab C 4 x / hari, intake dan output seimbang Intervensi : ü Kaji tingkat dehidrasi R : mengetahui cairan yang dibutuhkan ü Monitor tanda-tanda dehidrasi R : mengetahui tindakan yan akan dilakukan selanjutnya ü Berikan asi / pasi sesuai program R : memenuhi hidrasi dengan intake yang adekuat ü Observasi frekwensi, konsistensi dan warna feces R : perubahan dari frekwensi, konsistensi feces, klien mengalami diarhoe sehingga perlu ditindak lanjuti c. Diagnosa : Perubahan suhu tubuh b/d premature, fototerapi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal Kriteria Standar : Suhu tubuh normal (36 – 37 º c) Intervensi : ü Ciptakan suhu lingkungan yang netral R : pengaruh suhu lingkungan sangat besar terhadap kestabilan suhu tubuh bayi ü Pertahankan bayi tetap hangat dan kering R : kestabilan suhu tubuh klien dapat memberikan kenyamanan bagi klien ü Observasi tanda-tanda vital secara teratur dapat mendeteksi bila terjadi kelainan. R : pengukuran tanda-tanda vital secar teratur dapat mendeteksi bila terjadi kelainan. d. Diagnosa : Kerusakan itegritas kulit b/d joundice dan diarhoe. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan Kriteria Standar : Keadaan kulit kering, bersih anus tidak kemerahan, icterus pada tubuh berkurang. Intervensi ü Observasi warna dan keadaan kulit tiap 8 jam / bila diperlukan R : dapat mengetahui secara dini bila terjadi kelainan ü Ubah posisi setiap 2 jam dengan terlentang / tengkurap, monitor keadaan kulit dan lakukan massage R : mengurangi daerah tertekan ü Perhatikan warna dan frekwensi defekasi R : defekasi encer, sering serta kehijauan serta urine kehijauan menandakan keefektifan fototerapi dengan pemecahan dan ekskresi bilirubin ü Jaga kebersihan dan kekeringan tubuh klien R : agar kulit tidak teriritasi oleh bilirubin dan enzim yang dikeluarkan oleh feces ü Berikan perawatan area perianal setelah defekasi R : mencegah iritasi dari defekasi yang sering dan encer ü Pelihara kebersihan kulit bayi, seka setiap hari, ganti popok dan pakain setiap saat jika diperlukan R :kulit tetap bersih dan kering dapat mencegah iritasi kulit e. Diagnosa : Resiko injury pada mata dan genetalia b/d fototerapi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak ada tanda-tanda penurunan sensori visual, tak ada trauma genetalia Kriteria Standar : Reflek mata / pupil ada bila pelindung mata dibuka, adanya respon dengan sentuhan, sensori visual baik, genetalia tidak atropi, eliminasi urin lancar Intervensi : ü Tempatkan bayi pada 18 – 20 inchi dari sumber cahaya. R : merupakan jarak yang tepat untuk keuntungan maksimal ü Berikan penutup mata yang tidak tembus cahaya R : mencegah kemungkinan kerusakan retina dan kongjungttiva dari sinar intensitas tinggi ü Inspeksi mata setiap 2 jam bila penutup mata dibuka R : memberikan rangsang terhadap klien sehingga tidak terjadi penurunan persepsi ü Pantau posisi penutup mata R : pemasangan tidak tepat / pergeseran dapat menyebabkan iritasi, abrasi, kornea, konjungtiutis ü Beri tutup pada testis dan penis bayi R : mencegah kerusakan testis dari panas ü Beri rangsangan kata-kata atau sentuhan klien secara halusselama perawatan R : memberikan respon pada bayi tentang kepekaan terhadap rangsangan. f. Diagnosa : Perubahan psikologis (cemas) b/d kurang pengetahuan keluarga tentang joundice penatalaksanaan dan perawatan. Tujuan : Setelah diberi penjelasan keluarga mengerti tentang penyakit, perawat, pengobatan dan kecemasan berkurang Kriteria Standar : Keluarga mampu menjelaskan tengang penyakit, pengobatann dan perawatan, serta komplikasi yang mungkin timbul, keluarga mengerti pentingnya perawatan dan kecemasan berkurang Intervensi ü Jelaskan pada orang tua tentang penyakit, penyebab komplikasi perawatan dan pengobatan R : menambah pengetahuan keluarga sehingga berpartisipasi terhadap tindakan keperawatan ü Anjurkan keluarga mengunjungi klien R : keterlibatan orang tua sangat penting dan untuk mengetahui keadaan bayi secara langsung ü Diskusi dengan keluarga penatalaksanaan klien bila di rumah R : pemahaman orang tua membantu mengembangkan kerjasama mereka bila bayi dipulangkan ü Anjurkan pada orang tua untuk membantu mengembangkan kerja sama mereka bila bayi dipulangkan R : mengetahui / mengenali tanda-tanda peningkatan biliburin untuk evaluasi medis secara tepat g. Diagnosa : Perubahan perfusi jaringan b/d hipo/hiperventilasi selama transfusi tukar. Tujuan : Pelaksanaan tranfusi tukar berhasil dan komplikasi tidak terjadi Kriteria standar : Joundice berkurang atau hilang kadar serum bilirubin kurang 12 mg/dl pada bayi atern dan kurang 15 mg / dl pada bayi pretern Intervensi ü Perisapkan alat-alat untuk mengukur suhu nadi respirasi dan alat resusitasi R : menyiapkan alat-alat untuk mengukur suhu nadi respirasi dan alat resusitasi ü Cek tipe dan golongan darah sesuai protokol R : mempersiapkan sebelum dilakukan transfusi tukar ü Jamin kesegaran darah (tidak < 2 hari) R : darah yang lama lebih mungkin mengalami hemolisis, karenanya meningkatkan kadar biliburin ü Berikan pencucian saline pada tali pusat R : pencucian perlu untuk melunakkan tali pusat dan vena umbilikus sebelum transfusi ü Pantau tekanan vena, nadi, warna dan frekwensi pernapasan sebelum, selama dan sesudah transfusi R : mengidentifikasi potensial kondisi tidak stabil ü Observasi kejadian selama trnasfusi pencatatan jumlah darah yang diambil dan diinjeksikan R : mencegah kesalahan dalam penggantian cairan ü Monitor kadar bilirubin setelah prosedure kemudian 4 – 6 jam R : kadar biliburin bisa menurun sampai setengah setelah dilakukan tindakan dan dapat meningkatkan setelah dan perlu pengulangan transfusi 4.Pelaksanaan Prinsip-prinsip dalam mengatasi klien dengan hiperbilirubinemia antara lain : menghilangkan penyebab, misal pemberian albumin untuk mengikat bilirubin bebas pencegahan peningkatan kadar bilirubin meningkatkan kerja enzim dengan pemberian phenobarbital melakukan fototerapi dan transfusi tukar 5.Evaluasi Kriteria evaluasi yang diharapkan dari diagnosa yang muncul pada klien hiperbilirubineia : a.serum bilirubin indirect kembali normal : kadar bilirubin dibawah 12 mg % pada bayi aterm dan 15 mg % pada bayi prematore b.kebutuhan cairan terpenuhi c.suhu tubuh normal (36 – 37 º c) d.kebutuhan kulit dapat dipertahankan e.tidak ada tanda penurunan sensori visual dan tidak terjadi trauma pada genetalia f.keluarga mengerti tentang penyakit perawatan dan pengobatan g.pelaksanaan transfusi tukar berhasil dan komplikasi tidak terjadi by:abdulholic

Minggu, 02 Januari 2011

LAPORAN PENDAHULUAN CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )

A. PENGERTIAN

Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)

Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease ( CKD ),pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure ( CRF ), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat ( stage ) menggunakan terminology CCT ( clearance creatinin test ) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF ( cronic renal failure ) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.

B. ETIOLOGI

· Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
· Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
· Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
· Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
· Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
· Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
· Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
· Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
c. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Anatomi ginjal


Fisiologi
Unit fungsional ginjal adalah nefron, yang pada manusia setiap ginjal mengandung 1-1,5 juta nefron. Setiap nefron terdiri atas glomerulus yang mengandung kapsula bowmen dan tubulus. Tubulus terdiri dari tiga bagian yaltu tubulus proksimalis, lengkungan Henley (loop of Henley dan tubulus distalis beberapa tubulus distalis akan besatu membentuk duktus kolektivus. Glomerulus proksirnalis dan distalis terletak pada korteks ginjal sedang lengkung Henley dan duktus kolektivus pada medulla ginjal. (Siregar, H, et all,(1999), hal. 20).
Setiap nefron mempunyai dua komponen utama:
1) Glomerulus ( kapiler glomerulus ) yang dilalui sejumlah besar cairan yang difiltrasi dari darah.
2) Tubulus yang panjang dimana cairan hasil filtrasi di ubah menjadi urin dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal.
Meskipun setiap nefron mempunyai semua komponen seperti yang digambarkan diatas, tetapi tetap terdapat perbedaan, bergantung pada berapa dalamnya letak nefron pada massa ginjal. Nefron yang memiliki Glomerulus dan terletak di luar korteks disebut nefron kortikal ; nefron tersebut mempunyal ansa Henle pendek yang hanya menembus kedalam medulla dengan jarak dekat kira-kira 20-30 % nefron rnernpunyal glomerulus yang terletak dikorteks renal sebelah dalam dekat rnedula dan disebut nefron jukstaglomerulus. Nefron ini mempunyai ansa Henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medula, pada beberapa tempat semua berjalan menuju ujung papila renal.
Kecepatan eksresi berbagal zat dalam urin menunjukkan jumlah ketiga proses ginjal yaitu : Filtrasi glomerulus, reabsorpsi zat dari tubulus renal kedalam darah dan sekresi zat dari darah ke tubulus renal. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sjumlah besar cairan yang bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowmen. (Guyton & Hall, 1997. hal. 400).
Sistem kemih terdiri dan organ pembentuk urin ginjal dan struktur. yang menyalurkan urin dari ginjal ke luaar tubuli. Setiap ginjal dipasok (diperdarahi) oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing-masing masuk dan keluar ginjal dilakukan rnedial yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti ginjal rnengolah plasma yang mengalir masuk kedalamnya untuk menghasilkan urine, menahan bahan-bahan tertentu & mengeliminasi bahan-bahan yang tidak diperlukan kedalam urin. Setelah terbentuk urin mengalir kesebuah rongga pengumpul sentral, dari situ urine disalurkan kedalam ureter, sebuah duktus berdinding otot polos yang keluar dari batas medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri dan vena renalis. Terdapat dua ureter, yang menyalurkan urine dari setlap ginjal kesebuah kandung kemih.
Kandung kernih yang menyimpan urin secara temporar, adalah sebuah kantung berongga yang dapat direnggangkan dan volumenya disesuaikan dengan mengubah-ubah status kontraksi otot polos di dindingnya. Secara berkala, urine dikosongkan dari kandung kemlh keluar tubuh melalui sebuah saluran, uretra. Uretra pada wanita berbentuk Jurus dan pendek berjalan secara langsung dari leher kandung kermh keluar tubuh. Pada pria uretra Jauh lebih panjang dan melengkiung dan kandung kemih keluar tubuh melewati kelenjar prostat dan penis. (Lauralle Sherwood, 2001, hal. 463).
Fungsi primer ginjal adalah rnempertahankan volume dan komposisi cairan ekstra sel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstra sel dikontrol oleh filtrasi glomerulus reabsorbsi dan sekresi tubulus. Zat-zat yang difiltrasi di ginjal dibagi dalam 3 kelas : Elektrolit, nonelektrolit dan air. Beberapa jenis elektrolit yang paling penting adalah (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg++), Bikarbonat (HC02), Klorida (Cl-), dan fosfat (HP04), sedangkan non elektrolit yang penting antara lain glukosa, asam amino, dan metabolik yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein : Urea, asam urat dan kreatinin. (Price, S, et all, 1995, hal 770).
Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrate primer mempunyal komposisi sama seperti plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul yang besar seperti protein secara efektif tertahan oleh pori-pori membran filtrasi, sedangkan air dan kristaloid dapat tersaring dengan mudah. Setiap menit kira-kira satu liter darah yang mengandung 500 cc plasma,mengalir melalui semua glomeruli dan sekitar 100 cc (10 %) dari itu disring keluar.
Perbandingan jumlah yang disaring oleh glomerulus setiap hari dengan jumlah yang biasanya dikeluarkan kedalam urine maka dapat dilihat besar daya selektif sel tubulus:
Tabel 1 : Daya Selektif Sel Tubulus
Komponen
Disaring
Dikeluarkan
Air
150 Liter
1, 5 Liter
Garam
750 Liter
15 Gram
Glukosa
150 Liter
0 gram
Urea
50 Gram
30 Gram
(Pearce E, 1993 hal. 248-249)
Fungsi lain dari ginjal yaitu memproduksi renin yang berpperan dalam pengaturan tekanan darah.
Apabila tekanan darah turun, maka sel-sel otot polos meningkatkan pelelepasan reninnya. Apabila tekanan darah naik maka sel-sel otot polos mengurangi pelepasan reninnya. Apabila kadar natrium plasma berkurang, maka sel-sel makula dansa memberi sinyal pada sel-sel penghasil renin untuk meningkatkan aktivitas mereka. Apabila kadar natrium plasma meningkat, maka sel-sel makula dansa memberi sinyal kepada otot polos untuk menurunkan pelepasan renin.
Setelah renin beredar dalam darah dan bekerja dengan mengkatalisis penguraian suatu protein kecil yaitu angiotensinogen menjadi angiotensin I yang terdiri dari 10 asam amino, angiotensinogen dihasikna oleh hati dan konsentrasinya dalam darah tinggi. Pengubahan angiotensinogen menjadi angiotensin I berlangsung diseluruh plasma, tetapi terutama dikapiler paru-paru. Angoitensi I kemudian dirubah menjadi angiotensin II oleh suatu enzim konversi yang ditemukan dalam kapiler paru-paru. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah melalui efek vasokontriksi arteriola perifer dan merangsang sekresi aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron akan merangsang reabsorbsi natrium dalam tubulus distal dan duktus pengumpul selanjutnya peningkatan reabsorbsi natrium mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air, dengan demikian volume plasma akan meningkat yang ikut berperan dalam peningkan tekanan darah yang selanjutnya akan mengurangi iskemia ginjal (corwin, 2000)
Fungsi utama ginjal adalah :
a. Ultrafiltrasi
Membuang volume cairan dari sirkulasi darah, bahan-bahan yang terlarut dalam cairan ikut terbuang.
b. Pengendalian cairan
Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang tepat dalam batas eksresi yang normal, dalam sekresi dan reabsorbsi.
c. Keseimbangan asam
Mempertahankan PH pada derajat yang basa normal dengan eksresi ion H dan pembentukan bicarnonat untuk buffer/penyanggah.
d. Eksresi produk sisa
Pembuangan langsung produk metabolisme yang terdapat pada filtrate glomerular.
e. Mengatur tekanan darah
Mengatur tekanan darah dengan mengendalikan volume sirkulasi dan sekresi renin
f. Memproduksi eritropoetin
Eritropoetin yang disekresikan ginjal merangsang sum-sum tulang agar membuat sel-sel darah merah.

g. Mengatur metabolisme
h. Mengaktifkan vitamin D yang diatur oleh kalsium fosfat ginjal
(long B, 1996)


d. PATOFISIOLOGI

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
- Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.
- Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
- Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG :
- Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
- Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
- Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
- Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
- Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal. Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus : Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg ) 72 x creatini serum Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85 MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369): a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut: a. Gangguan kardiovaskuler Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. b. Gannguan Pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels. c. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia. d. Gangguan muskuloskeletal Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas. e. Gangguan Integumen kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. f. Gangguan endokrim Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D. g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia. h. System hematologi anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni. D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain : 1.Pemeriksaan lab.darah - hematologi Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit - RFT ( renal fungsi test ) ureum dan kreatinin - LFT (liver fungsi test ) - Elektrolit Klorida, kalium, kalsium - koagulasi studi PTT, PTTK - BGA 2. Urine - urine rutin - urin khusus : benda keton, analisa kristal batu 3. pemeriksaan kardiovaskuler - ECG - ECO 4. Radidiagnostik - USG abdominal - CT scan abdominal - BNO/IVP, FPA - Renogram - RPG ( retio pielografi ) E. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu : a) Konservatif - Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin - Observasi balance cairan - Observasi adanya odema - Batasi cairan yang masuk b) Dialysis - peritoneal dialysis biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis ) - Hemodialisis Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan : - AV fistule : menggabungkan vena dan arteri - Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung ) c) Operasi - Pengambilan batu - transplantasi ginjal I. DIAGNOSA KEPERAWATAN Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah: 1. Penurunan curah jantung 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit 3. Perubahan nutrisi 4. Perubahan pola nafas 5. Gangguan perfusi jaringan 6. Intoleransi aktivitas 7. kurang pengetahuan tentang tindakan medis 8. resti terjadinya infeksi J. INTERVENSI 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler Intervensi: a. Auskultasi bunyi jantung dan paru R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur b. Kaji adanya hipertensi R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal) c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10) R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O) Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Intervensi: a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital b. Batasi masukan cairan R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output 3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil Intervensi: a. Awasi konsumsi makanan / cairan R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi b. Perhatikan adanya mual dan muntah R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi c. Beikan makanan sedikit tapi sering R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial e. Berikan perawatan mulut sering R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan 4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil Intervensi: a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2 c. Atur posisi senyaman mungkin R: Mencegah terjadinya sesak nafas d. Batasi untuk beraktivitas R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil : - Mempertahankan kulit utuh - Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit Intervensi: a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi. b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan c. Inspeksi area tergantung terhadap udem R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek d. Ubah posisi sesering mungkin R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia e. Berikan perawatan kulit R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit f. Pertahankan linen kering R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit 6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi Intervensi: a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat 7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis (hemodialisa) b.d salah interpretasi informasi. a. Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang akan dialami. b. Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala CKD serta penatalaksanaannya (tindakan hemodialisa ). c. Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan. d. Anjurkan keluarga untuk memberikan support system. e. Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes By: abdulholic

Sabtu, 01 Januari 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATUS DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN

a. Pengertian

Infeksi saluran pernafasan adalah suatu keadaan dimana saluran pernafasan (hidung, pharing dan laring) mengalami inflamasi yang menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas dan akan menyebabkan retraksi dinding dada pada saat melakukan pernafasan (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 450).

Infeksi saluran nafas adalah penurunan kemampuan pertahanan alami jalan nafas dalam menghadapi organisme asing (Whaley and Wong; 1991; 1418).

b. Angka kejadian dan diagnosis

Pada rumah sakit umum yang telah menjadi rumah sakit rujukan terdapat 8,76 %-30,29% bayi dan neonatal yang masih mengalami infeksi dengan angka kematian mencapai 11,56%-49,9%. Pengembangan perawatan yang canggih mengundang masalah baru yakni meningkatnya infeksi nosokomial yang biasanya diakhiri dengan keadaan septisemia yang berakhir dengan kematian (Victor dan Hans; 1997; 220).

Diagnosis dari penyakit ini adalah melakukan kultur (biakan kuman) dengan swab sebagai mediator untuk menunjukkan adanya kuman di dalam saluran pernafasan. Pada hitung jenis (leukosit) kurang membantu sebab pada hitung jenis ini tidak dapat membedakan penyebab dari infeksi yakni yang berasal dari virus atau streptokokus karena keduanya dapat menyebabkan terjadinya leukositosis polimorfonuklear (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 453).

c. Etiologi dan karakteristik

Infeksi saluran pernafasan adalah suatu penyakit yang mempunyai angka kejadian yang cukup tinggi. Penyebab dari penyakit ini adalah infeksi agent/ kuman. Disamping itu terdapat beberapa faktor yang turut mempengaruhi yaitu; usia dari bayi/ neonatus, ukuran dari saluran pernafasan, daya tahan tubuh anak tersebut terhadap penyakit serta keadaan cuaca (Whaley and Wong; 1991; 1419).

Agen infeksi adalah virus atau kuman yang merupakan penyebab dari terjadinya infeksi saluran pernafasan. Ada beberapa jenis kuman yang merupakan penyebab utama yakni golongan A b-hemolityc streptococus, staphylococus, haemophylus influenzae, clamydia trachomatis, mycoplasma dan pneumokokus.

Usia bayi atau neonatus, pada anak yang mendapatkan air susu ibu angka kejadian pada usia dibawah 3 bulan rendah karena mendapatkan imunitas dari air susu ibu.

Ukuran dari lebar penampang dari saluran pernafasan turut berpengaruh didalam derajat keparahan penyakit. Karena dengan lobang yang semakin sempit maka dengan adanya edematosa maka akan tertutup secara keseluruhan dari jalan nafas.

Kondisi klinis secara umum turut berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi antara lain malnutrisi, anemia, kelelahan. Keadaan yang terjadi secara langsung mempengaruhi saluran pernafasan yaitu alergi, asthma serta kongesti paru.

Infeksi saluran pernafasan biasanya terjadi pada saat terjadi perubahan musim, tetapi juga biasa terjadi pada musim dingin (Whaley and Wong; 1991; 1420).

d. Manifestasi klinis

Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hisung dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 451).


e. Terapi dan Penatalaksanaan

Tujuan utama dilakukan terapi adalah menghilangkan adanya obstruksi dan adanya kongesti hidung pergunakanlah selang dalam melakukan penghisaapan lendir baik melalui hidung maupun melalui mulut. Terapi pilihan adalah dekongestan dengan pseudoefedrin hidroklorida tetes pada lobang hidung, serta obat yang lain seperti analgesik serta antipiretik. Antibiotik tidak dianjurkan kecuali ada komplikasi purulenta pada sekret.

Penatalaksanaan pada bayi dengan pilek sebaiknya dirawat pada posisi telungkup, dengan demikian sekret dapat mengalir dengan lancar sehingga drainase sekret akan lebih mudah keluar (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 452).

f. Diagnosis banding

Penyakit infeksi saluran pernafasan ini mempunyai beberapa diagnosis banding yaitu difteri, mononukleosis infeksiosa dan agranulositosis yang semua penyakit diatas memiliki manifestasi klinis nyeri tenggorokan dan terbentuknya membrana. Mereka masing-masing dibedakan melalui biakan kultur melalui swab, hitungan darah dan test Paul-bunnell. Pada infeksi yang disebabkan oleh streptokokus manifestasi lain yang muncul adalah nyeri abdomen akuta yang sering disertai dengan muntah (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 454).
g. Tanda dan gejala yang muncul

1. Demam, pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika anak sudah mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC.

2. Meningismus, adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudzinski.

3. Anorexia, biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi susah minum dan bhkan tidak mau minum.

4. Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi tersebut mengalami sakit.

5. Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran pernafasan akibat infeksi virus.

6. Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya lymphadenitis mesenteric.

7. Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret.

8. Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan.

9. Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya suara pernafasan (Whaley and Wong; 1991; 1419).

h. Pengkajian terutama pada jalan nafas

Fokus utama pada pengkajian pernafasan ini adalah pola, kedalaman, usaha serta irama dari pernafasan.

Pola, cepat (tachynea) atau normal.

Kedalaman, nafas normal, dangkal atau terlalu dalam yang biasanya dapat kita amati melalui pergerakan rongga dada dan pergerakan abdomen.

Usaha, kontinyu, terputus-putus, atau tiba-tiba berhenti disertai dengan adanya bersin.

Irama pernafasan, bervariasi tergantung pada pola dan kedalaman pernafasan.

Observasi lainya adalah terjadinya infeksi yang biasanya ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, adanya batuk, suara nafas wheezing. Bisa juga didapati adanya cyanosis, nyeri pada rongga dada dan peningkatan produksi dari sputum (Whaley and Wong; 1991; 1420).

i. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai dengan jenis kuman, pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia dan pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Victor dan Hans; 1997; 224).

j. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, tujuan dan intervensi

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan proses inflamasi pada saluran pernafasan, nyeri.

Tujuan:

Pola nafas kembali efektif dengan kriteria: usaha nafas kembali normal dan meningkatnya suplai oksigen ke paru-paru.

Intervensi:

a. Berikan posisi yang nyaman sekaligus dapat mengeluarkan sekret dengan mudah.

b. Ciptakan dan pertahankan jalan nafas yang bebas.

c. Anjurkan pada keluarga untuk membawakan baju yang lebih longgar, tipis serta menyerap keringat.

d. Berikan O2 dan nebulizer sesuai dengan instruksi dokter.

e. Berikan obat sesuai dengan instruksi dokter (bronchodilator).

f. Observasi tanda vital, adanya cyanosis, serta pola, kedalaman dalam pernafasan.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi mekanik dari jalan nafas oleh sekret, proses inflamasi, peningkatan produksi sekret.

Tujuan:

Bebasnya jalan nafas dari hambatan sekret dengan kriteria: jalan nafas yang bersih dan patent, meningkatnya pengeluaran sekret.

Intervensi:

a. Lakukan penyedotan sekret jika diperlukan.

b. Cegah jangan sampai terjadi posisi hiperextensi pada leher.

c. Berikan posisi yang nyaman dan mencegah terjadinya aspirasi sekret (semiproneside lying position). dan

d. Berikan nebulizer sesuai instruksi dokter.

e. Anjurkan untuk tidak memberikan minum agar tidak terjadi aspirasi selama periode tachypnea.

f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan perparenteral yang adekuat.

g. Berikan kelembaban udara yang cukup.

h. Observasi pengeluaran sekret dan tanda vital.

3. Cemas berhubungan dengan penyakit yang dialami oleh anak, hospitalisasi pada anak

Tujuan:

Menurunnya kecemasan yang dialami oleh orang tua dengan kriteria: keluarga sudah tidak sering bertanya kepada petugas dan mau terlibat secara aktif dalam merawat anaknya.

Intervensi:

a. Berikan informasi secukupnya kepada orang tua (perawatan dan pengobatan yang diberikan).

b. Berikan dorongan secara moril kepada orang tua.

c. Jelaskan terapi yang diberikan dan respon anak terhadap terapi yang diberikan.

d. Anjurkan kepada keluarga agar bertanya jika melihat hal-hal yang kurang dimengerti/ tidak jelas.

e. Anjurkan kepada keluarga agar terlibat secara langsung dan aktif dalam perawatan anaknya.

f. Observasi tingkat kecemasan yang dialami oleh keluarga.

Leukemia AKUT

LAPORAN PENDAHULUAN

Epidemologi

Insidensi Leukemia di Amerika adalah 13 per 100.000 penduduk /tahun (Wilson, 1991). Leukemia pada anak berkisar pada 3 – 4 kasus per 100.000 anak / tahun. Untuk insidensi ANLL di Amerika Serikat sekitar 3 per 200.000 penduduk pertahun. Sedang di Inggris, Jerman, dan Jepang berkisar 2 – 3 per 100.000 penduduk pertahun (Rahayu, 1993, cit Nugroho, 1998). Pada sebuah penelitian tentang leukemia di RSUD Dr. Soetomo/FK Unair selama bulan Agustus-Desember 1996 tercatat adalah 25 kasus leukemia akut dari 33 penderita leukemia. Dengan 10 orang menderita ALL ( 40% ) dan 15 orang menderita AML (60 %) (Boediwarsono, 1998).


Etiologi

Penyebab leukemia sampai sekarang belum jelas, tapi beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain :

1. Genetik

a. keturunan

a.1. Adanya Penyimpangan Kromosom

Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis (Wiernik, 1985; Wilson, 1991). Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy.

a.2. Saudara kandung

Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi (Wiernik,1985).

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut, khususnya ANLL (Wiernik,1985; Wilson, 1991).

2. Virus

Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata.

Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan. (Wiernik, 1985). Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia. Virus ini ditemukan oleh Takatsuki dkk (Kumala, 1999).

3. Bahan Kimia dan Obat-obatan

a. Bahan Kimia

Paparan kromis dari bahan kimia (misal : benzen) dihubungkan dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. (Wiernik,1985; Wilson, 1991)

Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik (Fauci, et. al, 1998).

b. Obat-obatan

Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML (Fauci, et. al, 1998).

4. Radiasi

Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .

5. Leukemia Sekunder

Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara. Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA .

Klasifikasi Leukemia Akut

Berdasarkan klasifikasi French American British (FAB), leukemia akut terbagi menjadi 2 (dua), Acute Limphocytic Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).

ALL sendiri terbagi menjadi 3, yakni :

- L1

Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang anak-anak.

- L2

Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1. ALL jenis ini sering diderita oleh orang dewasa.

- L3

Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt. Terjadi baik pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk.

AML terbagi menjadi 8 tipe :

- Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )

Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan diferensiasi minimal.

- M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )

Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1.

- M2 ( Akut Myeloid Leukemia )

Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit.

- M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )

Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini .

- M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )

Terlihat 2 (dua) type sel, yakni granulositik dan monositik, serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.

Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar.

- M5 ( Acute Monocytic Leukemia )

Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.

- M6 ( Erythroleukemia )

Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar.

- M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )

Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit.

( Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998 )

Manifestasi Klinis leukemia Akut

Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah :AnemiaDemamPerdarahan , purpura, epistaksis ( sering ), hematoma, infeksi oropharingeal, pembesaran nodus limfatikus, lemah ( weakness ), faringitis, gejala mirip flu ( flu like syndrome ) yang merupakan manifestasi klinis awal, splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, ikterus (Cawson 1982; De Vita Jr,1985, Archida, 1987, Lister, 1990, Rubin,1992).

Manifestasi dalam mulut penderita leukemia akut akan dibahas pada II.2.

Patogenesa Leukemia Akut

Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada sumsum tulang oleh sel leukemik , menyebabkan gangguan produksi sel darah merah . Depresi produksi platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan . Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel lekemik, yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi . Infiltrasi sel-sel leukemik ke organ-organ vital seperti liver dan limpa oleh sel-sel leukemik yang dapat menyebabkan pembesaran dari organ-organ tersebut. (Cawson, 1982).

Diagnosa Leukemia Akut

Penegakan diagnosa leukemia akut dilakukan dengan berdasarkan pada anamnesa , pemeriksaan klinis , pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang pada beberapa kasus . Pada pemeriksaan darah, sel darah putih menunjukkan adanya kenaikan jumlah, penurunan jumlah, maupun normal, pemeriksaan trombosit menunjukkan penurunan jumlah, pemeriksaan hemoglobin menunjukkan penurunan nilai ( De Vita Jr, 1993 ), pemeriksaan sel darah merah menunjukkan penurunan jumlah dan kelainan morfologi ( Cawson, 1982 ;De Vita Jr, 1993 ), adanya sel leukemik sejumlah 5 % cukup untuk mendiagnosa kelainan darah sebagai leukemia, tapi sering dipakai nilai yang mencapai 25 % atau lebih (Altman J.A.,1988 cit De Vita Jr, 1993). Pemeriksaan dengan pewarnaan Sudan Black, PAS, dan mieloperoksidase untuk pembedaan AML dan ALL, ( De Vita Jr, 1993 ; Boediwarsono, 1996 ; Yoshida, 1996 ) .

Kelainan Rongga Mulut Yang Berhubungan Dengan Leukemia Akut

Kelainan rongga mulut disini adalah kelainan – kelainan yang timbul pada rongga mulut penderita leukemia akut, diantaranya adalah :

Pembengkakan gusi

Pembengkakan gusi berupa pembengkakan papila dan margin gusi. Pembengkakan ini terjadi akibat infiltrasi sel leukemik di dalam lapisan retikular mukosa mulut , di buktikan dari hasil biopsi dan FNAB mukosa rongga mulut (Nugroho, 1991 ; Berkovitz 1995). Mukosa mulut yang mengalami infiltrasi sel leukemik adalah mukosa yang sering mengalami trauma minor, misal mukosa sepanjang garis oklusi, palatum, lidah dan sudut mulut (Rusliyanto, 1986; Glickman, 1958 cit Berkovitz 1995 ) . Gejala ini ditemukan pada 14,28 % penderita leukemia (Archida, 1987) dan khas pada leukemia monositik dan mielomonositik akut (Rusliyanto, 1980; Wiernik, 1985 ; Berkovitz, 1995). Pembesaran gusi ini juga diduga diakibatkan oleh inflamasi kronis yang disebabkan oleh plak, berupa inflamasi karena gingivitis kronis derajat ringan yang juga ditemui pada gusi yang sehat secara klinis (Widjaja, 1992; Moughal et al, 1991 cit Berkovitz 1995).

Perdarahan

Perdarahan pada kasus leukemia bisa berupa petekie, ekimosis maupun perdarahan spontan ( Lister, 1990 ) . Sering terjadi pada kasus-kasus leukemia akut yang disertai penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit ( Widmann, 1995 ) . Trombosit merupakan komponen penting dalam proses pembekuan darah, yaitu berfungsi untuk membentuk sumbat trombosit . Sumbat trombosit berasal dari agregrasi trombosit yang menutup robekan pembuluh darah . Trombosit juga berperan terhadap aktivasi fibrinogen menjadi fibrin yang merupakan sumbat tetap dalam proses pembekuan darah . Penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit akan mengakibatkan kecenderungan perdarahanan ( Guyton, 1994; Ganiswara, 1995). Perdarahan diakibatkan juga karena kerusakan pembuluh darah . Kerusakan pembuluh darah diakibatkan oleh rupturnya kapiler. Darah meningkatnya viskositasnya akibat adanya sel leukemik dengan konsentrasi tinggi . Kondisi ini menyebabkan tekanan intra kapiler darah meningkat . aliran darah yang seharusnya ke sisi bertekanan rendah terhalang karena infiltrasi sel leukemik yang membentuk emboli . Penghentian aliran darah dengan viskositas dan tekanan tinggi ini menyebabkan pembuluh darah kapiler ruptur ( Wiernik, 1985 ) . Kebersihan rongga mulut yang buruk, jaringan periodontal yang tidak sehat dan iritasi lokal diduga menjadi penyebab lain dari perdarahan rongga mulut ( Wezler, 1991; Nugroho 1998). Kondisi lokal rongga mulut yang buruk, dapat menyebabkan keradangan dan berakibat mudah terjadi perdarahan .

Ulserasi

Ulserasi pada rongga mulut penderita leukemia akut diduga disebabkan karena adanya kegagalan mekanisme pertahanan tubuh. Neutrofil mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi . Pada kondisi ini trauma yang kecil pun dapat menyebabkan terjadinya ulser ( Rusliyanto, 1986 ).

Jumlah sel leukemik yang banyak pada darah tepi dapat menyebabkan statis pembuluh darah kecil sehingga terjadi anemia (Burket, 1940 cit Berkovitz , 1995, Sinrod, 1957 cit Berkovitz , 1995 ; Bodey, 1971 cit Berkovitz , 1995 ; Segelman dan Doku, 1977, cit Berkovitz , 1995) selanjutnya terjadi nekrosis dan ulkus (Rusliyanto, 1986).

Limfadenopati

limfadenopati berupa pembesaran kelenjar limfe, terjadi akibat adanya infiltrasi sel leukemik ke dalam kelenjar limfe (Lister, 1990; Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995) dan juga diduga adalah limfadenitis reaktif sebagai proses pertahanan tubuh terhadap tubuh terhadap radang yang merupakan proses fisiologis tubuh (Rubbins dan Khumar, 1992). Menurut Guyton et. al. (1994) limfadenopati ini juga terjadi akibat adanya proses hematopoeisis ekstra medular pada nodus limfatikus. Hematopoesis yang pada usia dewasa seharusnya terjadi pada sumsum tulang, terganggu karena sel leukemik dari proses multiplikasi sel prekursor leukemik mempunyai masa hidup yang lebih lama, menginfiltasi sumsum tulang serta mendesak sel-sel normal. Pernyataan Guyton ini didukung oleh W.F. Ganong (1995) yang menyatakan bahwa hematopoesis ekstra medular dapat terjadi pada usia dewasa akibat adanya penyakit yang menyebabkan fibrosis atau kerusakan sumsum tulang . Pembesaran ini mampu mencapai ukuran sebesar telur ayam (Pitojo S, 1992) .

Infeksi

Infeksi sangat sering terjadi pada penderita leukemia akut, baik infeksi jamur, bakteri maupun infeksi virus . Kondisi ini diakibatkan oleh kegagalan mekanisme pertahanan tubuh untuk menanggulangi infeksi . Pada penderita leukemia akut terjadi neutropenia (Barret, 1986) dan neutrofil itu sendiri mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi (Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995). Infeksi jamur yang paling banyak dijumpai adalah infeksi jamur Candida Albicans yang mencapai 60 % pada penderita ALL (Reskiasih, 2000 ) . Infeksi jamur kandida secara klinis dapat dijumpai berupa lesi putih maupun lesi merah . Lesi putih berupa warna yang lebih putih dari jaringan disekelilingnya, lebih tinggi dari sekitarnya, lebih kasar atau memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal yang ada di sekelilingnya . Lesi putih -ini bisa merupakan lesi yang keratotik atau non keratotik berdasarkan kemudahan diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut. Lesi yang sulit / tidak bisa diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut dianggap sudah melibatkan penebalan epitel mukosa dan mungkin sebagai akibat dari mengangkatnya ketebalan lapisan yang berkeratosis (hiperkeratosis) dan disebut lesi keratotik. Lesi yang mudah diangkat dan seringkali menimbulkan suatu daerah yang kasar atau sedikit kemerahan dari mukosa bisa berupa debris atau peradangan pada pseudomembranous mukosa mulut yang disebut lesi non keratotik. Lesi akibat infeksi jamur Kandida seringkali dikaitkan dengan keradangan pada pseudomembranous mukosa atau ikut berperan dalam etiologi lesi hiperkeratotik walaupun dapat berupa lesi putih yang disertai lesi hipokeratotik. Infeksi jamur yang lain dapat berupa angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis (Brightment,1993). Infeksi bakteri gram negatif yang menyebabkan pneumonia sangat sering terjadi. Dan satu-satunya tanda klinis yang biasa dijumpai adalah demam (Wiernik; 1985). Infeksi virus yang sering ditemui adalah infeksi Herpes Zoster yang mempunyai prosentase cukup tinggi yaitu 40 % pada penderita leukemia akut jenis AML dan 30 % leukemia akut jenis ALL (Barret,1986). Salah satu komplikasi infeksi, yaitu sepsis merupakan penyebab kematian terbesar pada penderita leukemia akut yang mencapai 52,63 % (Archida, 1987).

kejang

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga. Selain sebagai penerus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai generasi penerus bangsa. Oleh karena itu tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami kejang demam.


Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. (Ngastiyah, 1997; 229).

Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73)

Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.

Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan kerusakan sel-sel otak kurang menyenangkan di kemudian hari, terutama adanya cacat baik secara fisik, mental atau sosial yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. (Iskandar Wahidiyah, 1985 : 858) .

Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera. Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat/paramedis dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah : Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya. (I Made Kariasa, 1999; 262).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis tertarik membuat karya tulis dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Anak “A” dengan Kejang Demam di Ruang Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya”.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan/Pengertian

Batasan/pengetahuan dari karya tulis dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Anak “ A” dengan Kejang Demam meliputi :

2.1.1 Asuhan adalah bantuan yang dilakukan bidan kepada individu, pasien atau kliennya (Santoso. NI, 1989 : 3)

2.1.2 Keperawatan adalah suatu pelayanan kesehatan profesional berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial spiritual yang komprehensip yang ditujukkan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat (Santosa. NI, 1989 : 1)

2.1.3 Asuhan keperawatan adalah metode pemberian pelayanan keperawatan kepada pasien / klien (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) yang logis, sistematis, dinamis dan teratur (Santosa. NI, 1989 : 151)

2.1.4 Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada saat suhu meningkat disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. (Darto suharso, 1994: 148).

2.2 Konsep Kejang Demam

2.2.1 Pengertian

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997:229).

2.2.2 Etiologi

Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya : tonsilitis ostitis media akut, bronchitis, dll

2.2.3 Patofisiologi

Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :

2.2.3.1 Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular

2.2.3.2 Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya

2.2.3.3 Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.

2.2.4 Prognosa

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian, resiko seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung faktor :

2.2.4.1 Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga

2.2.4.2 Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang

2.2.4.3 Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, di kemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13 %, dibanding bila hanya terdapat satu atau tidak sama sekali faktor tersebut, serangan kejang tanpa demam 2%-3% saja (“Consensus Statement on Febrile Seizures 1981”).

2.2.5 Manifestasi Klinik

Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.

Di Subbagian Anak FKUI RSCM Jakarta, kriteria Livingstone dipakai sebagai pedoman membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :

2.2.5.1 Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun

2.2.5.2 Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit

2.2.5.3 Kejang bersifat umum

2.2.5.4 Kejang timbul dalam 16 jam pertamam setelah timbulnya demam

2.2.5.5 Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

2.2.5.6 Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan

2.2.5.7 Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali

2.2.6 Penatalaksanaan Medik

Dalam penaggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :

2.2.6.1 Pemberantasan kejang secepat mungkin

Pemberantasan kejang di Sub bagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI sebagai berikut :

Apabila seorang anak datang dalam keadaan kejang, maka :

1. Segera diberikan diazepam intravena ® dosis rata-rata 0,3 mg/kg

Atau

diazepam rectal dosis £ 10 kg : 5 mg

bila kejang tidak berhenti ≥ 10 kg : 10 mg

tunggu 15 menit

dapat diulang dengan cara/dosis yang sama

kejang berhenti



berikan dosis awal fenobarbital

dosis : neonatus : 30 mg I.M

1 bulan – 1 tahun : 50 mg I.M

> 1 tahun : 75 mg I.M

2. Bila diazepam tidak tersedia, langsung memakai fenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya diteruskan dengan dosis rumat.

2.2.6.2 Pengobatan penunjang

Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :

1. Semua pakaian ketat dibuka

2. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung

3. Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen

4. Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen

2.2.6.3 Pengobatan rumat

Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari pertama, kedua diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya.

2.2.6.4 Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab kejang demam adalah infeksi respiratorius bagian atas dan astitis media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengobati penyakit tersebut. Pada pasien yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti fungsi lumbal, kalium, magnesium, kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi, dll.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kejang Demam

Langkah-langkah dalam proses keperawatan ini meliputi :

2.3.1 Pengkajian

Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. (Santosa. NI, 1989, 154)

Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara (yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur (mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat kabar).

Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :

2.3.1.1 Data subyektif

1. Biodata/Identitas

Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.

Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.

2. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)

Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :

Apakah betul ada kejang ?

Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak

Apakah disertai demam ?

Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam..

Lama serangan

Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.

Pola serangan

Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?

Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik ?

Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik ?

Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?

Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.

Frekuensi serangan

Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.

Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan

Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?

Riwayat penyakit sekarang yang menyertai

Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ?

Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.

4. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan ( forcep/vakum ), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.

5. Riwayat Imunisasi

Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.

6. Riwayat Perkembangan

Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :

Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.

Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.

Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.

7. Riwayat kesehatan keluarga.

Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya ? Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.

8. Riwayat sosial

Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji siapakah yanh mengasuh anak ?

Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya ?

9. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan

Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?

Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :

Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat

Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?

Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.

Pola nutrisi

Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?

Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?

Pola Eliminasi :

BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.

BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?

Pola aktivitas dan latihan

Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya ? Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam ? Aktivitas apa yang disukai ?

Pola tidur/istirahat

Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam berapa ? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?

2.3.1.2 Data Obyektif

1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)

Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.

2. Pemeriksaan Fisik

Kepala

Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?.

Rambut

Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.

Muka/ Wajah.

Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?

Mata

Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?

Telinga

Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.

Hidung

Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas ? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?

Mulut

Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi ?

Tenggorokan

Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?

Leher

Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?

Thorax

Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi

Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?

Jantung

Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?

Abdomen

Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?

Kulit

Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?

Ekstremitas

Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?

Genetalia

Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi ?

2.3.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi :

1. Darah

Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. Elektrolit : K, Na Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl ) 2. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang. 3. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi 4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala. 5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal. 6. CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras. 2.3.2 Analisa dan Sintesa Data Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi, menyeleksi, mengelompokkan, mengaitkan data, menentukan kesenjangan informasi, melihat pola data, membandingakan dengan standar, menginterpretasi dan akhirnya membuat kesimpulan. Hasil analisa data adalah pernyataan masalah keperawatan atau yang disebut diagnosa keperawatan. 2.3.3 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat, dan pasti tentang masalah pasien/klien serta penyebabnya yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah : 2.3.3.1 Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi. 2.3.3.2 Potensial terjadinya trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot 2.3.3.3 Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi yang ditandai : 1. Suhu meningkat 2. Anak tampak rewel 2.3.3.4 Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi yang ditandai : keluarga sering bertanya tentang penyakit anaknya. 2.3.4 Perencanaan Perencanaan merupakan keputusan awal tentang apa yang akan dilakukan, bagaimana, kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan melakukan kegiatan tersebut. Rencana keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan keperawatan. (Santosa. NI, 1989;160) 2.3.4.1 Diagnosa Keperawatan : potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi Tujuan : Klien tidak mengalami kejang selama berhubungan dengan hiperthermi Kriteria hasil : 1. Tidak terjadi serangan kejang ulang. 2. Suhu 36,5 – 37,5 º C (bayi), 36 – 37,5 º C (anak) 3. Nadi 110 – 120 x/menit (bayi) 100-110 x/menit (anak) 4. Respirasi 30 – 40 x/menit (bayi) 24 – 28 x/menit (anak) 5. Kesadaran composmentis Rencana Tindakan : 1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat. Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat. 2. Berikan kompres dingin Rasional : perpindahan panas secara konduksi 3. Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll) Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat. 4. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam Rasional : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan. 5. Batasi aktivitas selama anak panas Rasional : aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas. 6. Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis. Rasional : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis 2.3.4.2 Diagnosa Keperawatan : potensial terjadi trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan. Kriteria Hasil : 1. Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan. 2. Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang. 3. Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang. Rencana Tindakan : 1. Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah. Rasional : meminimalkan injuri saat kejang 2. Tinggalah bersama klien selama fase kejang.. Rasional : meningkatkan keamanan klien. 3. Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah. Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut. 4. Letakkan klien di tempat yang lembut. Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter berkurang. 5. Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang. Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu. 6. Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal 2.3.4.3 Diagnosa Keperawatan / Masalah : Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi. Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi Kriteria hasil : Suhu tubuh 36 – 37,5º C, N ; 100 – 110 x/menit, RR : 24 – 28 x/menit, Kesadaran composmentis, anak tidak rewel. Rencana Tindakan : 1. Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi. Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh. 2. Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali Rasional : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan yang selanjutnya. 3. Pertahankan suhu tubuh normal Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh. 4. Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak . Rasional : proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara. 5. Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat. 6. Atur sirkulasi udara ruangan. Rasional : Penyediaan udara bersih. 7. Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum Rasional : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat. 8. Batasi aktivitas fisik Rasional : aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas. 2.3.4.4 Diagnosa Keperawatan / Masalah : Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan keterbataaan informasi Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya. Kriteria hasil : 1. Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya. 2. Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan. 3. keluarga mentaati setiap proses keperawatan. Rencana Tindakan : 1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi yang didapat. 2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan keluarga 3. Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan. Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan 4. Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam, antara lain : 1. Jangan panik saat kejang 2. Baringkan anak ditempat rata dan lembut. 3. Kepala dimiringkan. 4. Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke mulut. 5. Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai keadaan tenang. 6. Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum 7. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama. Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam mengatasi masalah kesehatan. 5. Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas. Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang. 6. Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu. Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang 7. Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam. Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam 2.3.5 Pelaksanaan Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien ( Santosa. NI, 1989;162 ) 2.3.6 Evaluasi Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya ( Santosa.NI, 1989;162). Tabel 2.2 Evaluasi Pada Kasus Kejang Demam NO. Diagnosa/Masalah Evaluasi 1. 2 3. 4. . Potensial kejang berulang berhu-bungan dengan hiperthermi. Potensial terjadi trauma fisik berhubungan kurangnya koordina-si otot. Gangguan rasa nyaman berhu-bungan dengan hiperthermi. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi. Klien tidak mengalami kejang selama 2x24 jam. Kriteria : - Tidak terjadi serangan ulang - Suhu : 36 – 37,5 º C - N : 100 – 110 kali/menit - Kesadaran : composmentis Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan. Kriteria : - Tidak terjadi traumas fisik selama kejang. - Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang. - Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang. Rasa nyaman terpenuhi Kriteria : - Tanda vital : Suhu : 36 – 37,5ºC N : 100 – 110 kali/ menit RR : 24 – 28 kali/menit - Kesadaran : composmentis - Anak tidak rewel Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya. Kriteria : - Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya. - Keluarga mampu diikutserta-kan dalam proses perawatan. - Keluarga mentaati setiap proses perawatan.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATUS DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN

a. Pengertian

Infeksi saluran pernafasan adalah suatu keadaan dimana saluran pernafasan (hidung, pharing dan laring) mengalami inflamasi yang menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas dan akan menyebabkan retraksi dinding dada pada saat melakukan pernafasan (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 450).


Infeksi saluran nafas adalah penurunan kemampuan pertahanan alami jalan nafas dalam menghadapi organisme asing (Whaley and Wong; 1991; 1418).

b. Angka kejadian dan diagnosis

Pada rumah sakit umum yang telah menjadi rumah sakit rujukan terdapat 8,76 %-30,29% bayi dan neonatal yang masih mengalami infeksi dengan angka kematian mencapai 11,56%-49,9%. Pengembangan perawatan yang canggih mengundang masalah baru yakni meningkatnya infeksi nosokomial yang biasanya diakhiri dengan keadaan septisemia yang berakhir dengan kematian (Victor dan Hans; 1997; 220).

Diagnosis dari penyakit ini adalah melakukan kultur (biakan kuman) dengan swab sebagai mediator untuk menunjukkan adanya kuman di dalam saluran pernafasan. Pada hitung jenis (leukosit) kurang membantu sebab pada hitung jenis ini tidak dapat membedakan penyebab dari infeksi yakni yang berasal dari virus atau streptokokus karena keduanya dapat menyebabkan terjadinya leukositosis polimorfonuklear (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 453).

c. Etiologi dan karakteristik

Infeksi saluran pernafasan adalah suatu penyakit yang mempunyai angka kejadian yang cukup tinggi. Penyebab dari penyakit ini adalah infeksi agent/ kuman. Disamping itu terdapat beberapa faktor yang turut mempengaruhi yaitu; usia dari bayi/ neonatus, ukuran dari saluran pernafasan, daya tahan tubuh anak tersebut terhadap penyakit serta keadaan cuaca (Whaley and Wong; 1991; 1419).

Agen infeksi adalah virus atau kuman yang merupakan penyebab dari terjadinya infeksi saluran pernafasan. Ada beberapa jenis kuman yang merupakan penyebab utama yakni golongan A b-hemolityc streptococus, staphylococus, haemophylus influenzae, clamydia trachomatis, mycoplasma dan pneumokokus.

Usia bayi atau neonatus, pada anak yang mendapatkan air susu ibu angka kejadian pada usia dibawah 3 bulan rendah karena mendapatkan imunitas dari air susu ibu.

Ukuran dari lebar penampang dari saluran pernafasan turut berpengaruh didalam derajat keparahan penyakit. Karena dengan lobang yang semakin sempit maka dengan adanya edematosa maka akan tertutup secara keseluruhan dari jalan nafas.

Kondisi klinis secara umum turut berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi antara lain malnutrisi, anemia, kelelahan. Keadaan yang terjadi secara langsung mempengaruhi saluran pernafasan yaitu alergi, asthma serta kongesti paru.

Infeksi saluran pernafasan biasanya terjadi pada saat terjadi perubahan musim, tetapi juga biasa terjadi pada musim dingin (Whaley and Wong; 1991; 1420).

d. Manifestasi klinis

Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hisung dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 451).


e. Terapi dan Penatalaksanaan

Tujuan utama dilakukan terapi adalah menghilangkan adanya obstruksi dan adanya kongesti hidung pergunakanlah selang dalam melakukan penghisaapan lendir baik melalui hidung maupun melalui mulut. Terapi pilihan adalah dekongestan dengan pseudoefedrin hidroklorida tetes pada lobang hidung, serta obat yang lain seperti analgesik serta antipiretik. Antibiotik tidak dianjurkan kecuali ada komplikasi purulenta pada sekret.

Penatalaksanaan pada bayi dengan pilek sebaiknya dirawat pada posisi telungkup, dengan demikian sekret dapat mengalir dengan lancar sehingga drainase sekret akan lebih mudah keluar (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 452).

f. Diagnosis banding

Penyakit infeksi saluran pernafasan ini mempunyai beberapa diagnosis banding yaitu difteri, mononukleosis infeksiosa dan agranulositosis yang semua penyakit diatas memiliki manifestasi klinis nyeri tenggorokan dan terbentuknya membrana. Mereka masing-masing dibedakan melalui biakan kultur melalui swab, hitungan darah dan test Paul-bunnell. Pada infeksi yang disebabkan oleh streptokokus manifestasi lain yang muncul adalah nyeri abdomen akuta yang sering disertai dengan muntah (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 454).
g. Tanda dan gejala yang muncul

1. Demam, pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika anak sudah mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC.

2. Meningismus, adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudzinski.

3. Anorexia, biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi susah minum dan bhkan tidak mau minum.

4. Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi tersebut mengalami sakit.

5. Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran pernafasan akibat infeksi virus.

6. Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya lymphadenitis mesenteric.

7. Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret.

8. Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan.

9. Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya suara pernafasan (Whaley and Wong; 1991; 1419).

h. Pengkajian terutama pada jalan nafas

Fokus utama pada pengkajian pernafasan ini adalah pola, kedalaman, usaha serta irama dari pernafasan.

Pola, cepat (tachynea) atau normal.

Kedalaman, nafas normal, dangkal atau terlalu dalam yang biasanya dapat kita amati melalui pergerakan rongga dada dan pergerakan abdomen.

Usaha, kontinyu, terputus-putus, atau tiba-tiba berhenti disertai dengan adanya bersin.

Irama pernafasan, bervariasi tergantung pada pola dan kedalaman pernafasan.

Observasi lainya adalah terjadinya infeksi yang biasanya ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, adanya batuk, suara nafas wheezing. Bisa juga didapati adanya cyanosis, nyeri pada rongga dada dan peningkatan produksi dari sputum (Whaley and Wong; 1991; 1420).

i. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai dengan jenis kuman, pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia dan pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Victor dan Hans; 1997; 224).

j. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, tujuan dan intervensi

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan proses inflamasi pada saluran pernafasan, nyeri.

Tujuan:

Pola nafas kembali efektif dengan kriteria: usaha nafas kembali normal dan meningkatnya suplai oksigen ke paru-paru.

Intervensi:

a. Berikan posisi yang nyaman sekaligus dapat mengeluarkan sekret dengan mudah.

b. Ciptakan dan pertahankan jalan nafas yang bebas.

c. Anjurkan pada keluarga untuk membawakan baju yang lebih longgar, tipis serta menyerap keringat.

d. Berikan O2 dan nebulizer sesuai dengan instruksi dokter.

e. Berikan obat sesuai dengan instruksi dokter (bronchodilator).

f. Observasi tanda vital, adanya cyanosis, serta pola, kedalaman dalam pernafasan.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi mekanik dari jalan nafas oleh sekret, proses inflamasi, peningkatan produksi sekret.

Tujuan:

Bebasnya jalan nafas dari hambatan sekret dengan kriteria: jalan nafas yang bersih dan patent, meningkatnya pengeluaran sekret.

Intervensi:

a. Lakukan penyedotan sekret jika diperlukan.

b. Cegah jangan sampai terjadi posisi hiperextensi pada leher.

c. Berikan posisi yang nyaman dan mencegah terjadinya aspirasi sekret (semiprone dan side lying position).

d. Berikan nebulizer sesuai instruksi dokter.

e. Anjurkan untuk tidak memberikan minum agar tidak terjadi aspirasi selama periode tachypnea.

f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan perparenteral yang adekuat.

g. Berikan kelembaban udara yang cukup.

h. Observasi pengeluaran sekret dan tanda vital.

3. Cemas berhubungan dengan penyakit yang dialami oleh anak, hospitalisasi pada anak

Tujuan:

Menurunnya kecemasan yang dialami oleh orang tua dengan kriteria: keluarga sudah tidak sering bertanya kepada petugas dan mau terlibat secara aktif dalam merawat anaknya.

Intervensi:

a. Berikan informasi secukupnya kepada orang tua (perawatan dan pengobatan yang diberikan).

b. Berikan dorongan secara moril kepada orang tua.

c. Jelaskan terapi yang diberikan dan respon anak terhadap terapi yang diberikan.

d. Anjurkan kepada keluarga agar bertanya jika melihat hal-hal yang kurang dimengerti/ tidak jelas.

e. Anjurkan kepada keluarga agar terlibat secara langsung dan aktif dalam perawatan anaknya.

Observasi tingkat kecemasan yang dialami oleh keluarga